Saturday, 29 October 2011

BUAH KETEGASAN BAPAKKU

Bapak kami Alm. Ah. Fadlol (Allaahummghfirlahu War Hamhu Wa’afiihi Wa’fu “anhu) sangat kami kagumi, apalagi setelah beliau menghadap Allah. Kami sangat merasakan didikan beliau  setelah kami dewasa sekarang ini, nasehatnya sangat terpatri dalam hati kami. Sungguh kami anak-anaknya sangat berterima kasih kepadamu, mungkin kalau kami tidak mengindahkan nasehat dan didikanmu,kami anak-anakmu tidak menjadi seperti sekarang ini. Semoga kami bisa membahagiakanmu Bapak. Semoga Allah lapangkan kuburmu dan kita bisa berkumpul denganmu di surgaNya nanti. Aamiin…

Bapak orangnya tegas, tapi suka bercanda, kadang-kadang kami dibuatnya terpingkal-pingkal oleh gurauannya. Banyak lelucon-lelucon yang sering dilontarkan olehnya, terutama ketika sore hari, dimana kita sekelurga berkumpul menunggu azan maghrib. Beliau juga sangat tegas dalam menyikapi masalah, saya sebagai anak tertua dan perempuan merasakan sekali ketegasannya, terutama soal berteman dengan laki-laki. Maklum beliau lulusan pondok pesantren Kranji dan mulai masuk pondok sejak kelas 3 SD sampai menikah dengan ibu saya. Bayangkan, mungkin kalau dihitung-hitung bisa belasan tahun belajar di pondok, kalau orang jawa bilang sampe “ Nglothok”. 

Diantara contoh ketegasan beliau kepada saya adalah : 

Suatu hari, ada teman laki-laki SD saya yang bertamu ke rumah, waktu itu lagi lebaran, teman saya ini tanya ke bapak saya “ Farih e wonten Pak ? “ gak ono,lagi maen ke rumah kakeknya” jawab Bapak saya. Padahal saya waktu itu ada di dapur dan saya mendengar dengan jelas percakapan Bapak dengan teman saya tadi. Tidak berapa lama Bapak ke dapur menemui saya dan bilang : “ Rih, ojo metu lho.. nek kene bae !, saya menurut saja perintah beliau  dan saya mengerti maksud beliau, agar saya tidak bertemu dengan teman laki-laki saya tadi atau kalau saya mau pergi Jam’iyah di malam hari di sekolah desa saya, pasti saya dianternya atau harus ada barengannya, padahal jarak antara rumah dan sekolah lumayan dekat. 

Pernah juga suatu hari, saya meminta izin ke Bapak untuk ikut pelatihan Pembina Pramuka (kalau tidak salah, waktu itu saya duduk di  MTs kelas 2), beliau tanya ke saya : “Yang ikut pelatihan, ada laki-lakinya tidak?  Saya menjawab : “Pasti ada bapak, wong namanya pelatihan. Akhirnya karena tahu pesertanya ada laki-lakinya, beliau tidak mengizinkan saya untuk ikut, masih ingat dalam ingatan saya, beliau berkata :” kata Kyai saya,wong wedhok iku gak usah kenal laki-laki”. Saya sedih sekali waktu itu, tapi demi taat kepada orang tua, saya tidak jadi ikut pelatihan. Maka dari sinilah, didikan Bapak membentuk karakter saya yaitu cuek terhadap laki-laki,so saya jadi jarang ngobrol dengan teman laki-laki saya,apalagi berteman, apalagi di MTs, sekolahnya dipisah laki-laki dan perempuan. Saya juga tidak aktif di kepengurusan OSIS MTs, otomatis saya jadi tidak kenal sama laki-lak, padahal teman-teman perempuan saya, terutama yang jadi pengurus, suka ngobrol ngalor ngidul dengan  sesama pengurus laki-laki dan perempuan. Berbeda dengan saya yang agak kuper dengan pergaulan laki-laki, tapi waktu itu saya sangat menikmatinya, tidak ada perasaan berontak untuk sembunyi-sembunyi bertemu dengan laki-laki atau iri dengan teman-teman perempuan saya yang bebas bergaul. Penjagaan bapak terhadap saya dalam masalah pergaulan berlanjut sampai saya Aliyah. Baru ketika Aliyah kelas 2 atau 3, Bapak saya pernah nanya teman laki-lakinya ada berapa , Cuma sebatas itu kelonggaran saya dalam bergaul dengan kaum adam. Sampai-sampai ketika saya kuliah di STAIDRA, saya dibilang “judes” mungkin efek dari ketatnya bapak saya menjaga anak gadisnya. Nah, ketika saya kuliah di Jakarta, mulailah bapak melepas saya sepenuhnya, mau bergaul dengan siapa saja, tidak masalah bagi beliau, namun, tetap saja dinasehatin lewat surat atau ketika saya pulang ke rumah waktu liburan. Tapi, saya sendiri tidak terlalu merasa keenakan dengan bebasnya bergaul dengan laki-laki, hanya sebatas teman, mungkin karena nasehat beliau begitu “nancepnya” dalam hati saya, apalagi kuliah saya waktu itu juga dipisah antara laki-laki dan perempuan. 

Setelah lulus Takmili LIPIA dan S1 Al Aqidah, saya mengajar di sebuah Sekolah Islam Terpadu (SDIT) IQRO’ di Bekasi, tepatnya di Pondok Gede, ternyata disinipun pergaulan saya dengan laki-laki dijaga oleh Allah, karena sekolah islam, maka guru-gurunyapun rata-rata faham agama dan tata cara bergaul dengan lawan jenis.Jadi lengkap sudah penjagaan Allah terhadap pergaulan saya dengan lawan jenis. Karena liku-liku pergaulan saya dengan lawan jenis terbatas dan terbilang ketet, maka dalam kamus hidup saya tidak ada istilah “pacaran” tapi yang ada ketika kenal langsung menikah, itulah prinsip hidup saya. Itulah yang membuat saya tidak banyak teman dari kaum adam dan mungkin membuat saya agak telat menikah ( J menurut versi saya dan juga orang tua) karena tidak punya link untuk berkenalan dengan laki-laki. Tapi,saya yakin seyakinnya, Allah akan memberikan suami yang terbaik untuk saya. Beberapa kali bapak mencarikan calon suami untuk saya dari tetangga desa, tapi sayanya kurang sreg..

Setelah bertahun-tahun menunggu sang pangeran sejati, akhirnya Allah kirimkan kepada saya seorang lelaki yang sholeh, lembut hatinya dan cerdas orangnya dan yang penting pinter ngaji (itu syarat dari bapak saya) lulusan pesantren, tapi juga lulusan STAN. Subhanallah pertemuan saya dengannya pun lewat skenario Allah yang indah, tanpa pernah bertemu sama sekali, hanya orang yang mengalaminya yang bisa merasakan nikmatnya.
Terima kasih ya Allah.. atas nikmat suami yang begitu baik kepada saya, bimbinglah saya untuk menjadi istri sholihah baginya. Allahumma Ijma’ bainana Fi Hubbika….

Sydney, 26 Oktober 2011, 06.28







No comments:

Post a Comment